Gunung Papandayan, Jawa Barat
Langit membara di Garut sebelah barat daya, pada sebuah malam di bulan agustus 1772. Penyebabnya adalah lava panas yang terus dimuntahkan dari kawah sebuah gunung. Lima menit lamanya, muntahan lava itu kemudian dilanjutkan oleh kejadian yang sangat mengerikan: gemeretak tanah, gelegar hebat, dan kemudian runtuhnya sebagian besar badan gunung tersebut. Bahkan Lee Davis dalam karyanya, Natural Disaster, sampai hati mengatakan bahwa gunung tersebut hancur hingga berkeping-keping.
***
Menjejakkan kaki ke kota yang cukup terkenal dengan julukan Switzerland from Java, Garut, tak lengkap rasanya jika tidak mencicipi asyiknya mendaki Gunung Papandayan. Terletak 2.665 mdpl, gunung aktif yang seringkali terikat dengan paradigma “gunung wisata” ini memang cukup ramah bagi pendaki pemula. Walaupun begitu, gunung ini tetap menyimpan banyak pesona.
Untuk mendaki Gunung Papandayan, kita dapat melewati dua jalur, yakni jalur Cisurupan Garut dan Pengalengan Bandung. Sesampainya di Pos Penjagaan, kita harus mendaftarkan diri dan dapat membayar sumbangan untuk konservasi Gunung Papandayan.
Jalur Pendakian Dikelilingi Kawah
Awal pendakian, kita akan disambut dengan jalur yang cukup terjal, gersang, dan penuh bebatuan putih. Tak lama, kita akan melewati hamparan kawah-kawah belerang yang mengepul. Selain asap, kawah tersebut juga mengeluarkan bau belerang yang menyengat. Untuk mengatasinya, para pendaki dapat memakai penutup hidung atau masker. Para pendaki juga diimbau untuk tidak singgah atau istirahat di kawasan ini terlalu lama karena dapat menimbulkan efek yang tidak baik bagi tubuh.Menjauh dari kawah-kawah belerang, panorama tak lagi gersang. Pepohonan yang hijau kemerahan menjadi pemandangan yang lazim seluas mata memandang. Jalurnya pun tak lagi seterjal di kawasan perkawahan.
Kawasan Pondok Saladah
Perjalanan tentu tak berakhir dengan hanya mendirikan tenda dan berleha-leha di Pondok Saladah. Salah satu destinasi wajib jika mengunjungi Gunung Papandayan adalah Tegal Alun, sebuah padang Edelweiss yang sangat luas.
Menariknya, sebelum mencapai Tegal Alun, kita akan terlebih dahulu melewati sebuah kawasan yang tak kalah eksotis, ialah Hutan Mati. Pohon-pohon kering menghitam dengan tanah putih yang sarat kandungan belerang mencoba tunjukkan daya pukaunya tersendiri. Mungkin sebagian orang tak menduga, nuansa ini ternyata lahir dari sebuah bencana, yakni erupsi gunung ini pada tahun 2002 silam.
Hutan Mati
Anaphalis javanica
Selain tidak memetik Edelweiss, prinsip lain yang dimiliki oleh pendaki adalah untuk tidak membunuh apa pun, tidak meninggalkan apa pun, dan tidak mengambil apa pun dari gunung yang didaki.
Mendaki Papandayan, sama seperti kebanyakan gunung lainnya, berarti harus siap dengan kabut yang dapat kapan saja turun serta suhu yang ekstrem—sangat dingin—di malam hari. Persiapkanlah barang bawaan dengan matang dan selalu waspada, apalagi saat kabut mulai turun.
Selain pemandangannya, ternyata berdiri di sana dan membayangkan bahwa 240 tahun yang lalu gunung ini pernah mengalami bencana hebat, juga bisa jadi suatu hal yang membekas di hati para pendakinya. Tepatnya pada 11-12 Agustus 1772 lampau, Gunung Papandayan memang pernah meletus dahsyat tanpa peringatan, menyebabkan empat puluh desa terkubur dan 3.000-an penduduk beserta hewan-hewan ternak terisap ke danau vulkanik.
Walaupun kita belum hidup di zaman itu dan tidak menyaksikannya dengan mata kepala sendiri, amuk Papandayan di silam waktu masih bisa tergambar dari catatan Lee Davis dalam buku yang telah disebutkan di atas, Natural Disaster.
“No day of judgment painted by Angelo or Dore could ever match that actual horror of the solid mountain sinking into the earth with human beings on its slopes—its huge bulk going down as a ship goes down into the deep.”
Maka, Papandayan bisa membuktikan bahwa dirinya tak hanya dapat memecut adrenalin para penakluk tantangan atau sekadar memanjakan mata para petualang. Lebih jauh dari itu, Papandayan dapat memberikan efek kontemplasi yang mendalam bagi para pencari makna yang menziarahinya.
***
“The mountains are calling and I must go.” — John Muir
Sumber: www.mediacenterstan.com
Post a Comment