BREAKING NEWS

Thursday, May 21, 2015

Tentang Doa



Salah satu momen paling mesra dengan Sang Pencipta tak lain adalah saat kita berbincang
denganNya. Mengungkapkan apa yang kita inginkan, memohon kebaikanNya untuk
mengabulkan pengharapan. Ketika kita berdoa dengan mudah mengungkapkan apa yang
diinginkan di hadapanNya. Hanya saja belakangan ada rasa tak sepenuhnya lega ketika
melakukannya. Sebab mengapa momen yang harusnya penuh kepasrahan ini jadi lebih mirip
proses memesan makanan di restoran? Minta ini itu, memohon tambahan sesuai yang kita mau.
Bukankah seharusnya Tuhan lebih tahu apa yang kita perlu?

Seorang sahabat pernah berujar– “Memasrahkan kehendak pada Sang Pencipta adalah
bentuk kepasrahan terbesar.” Kali ini saya harus mengangkat topi dan mengamini bahwa
dia benar.


Dalam perbincangan sore, kepasrahan seorang sahabat menyadarkan saya Seorang sahabat baik
yang jadi teman tumbuh bersama adalah saksi hidup bagaimana makna doa berkembang seiring
kami dewasa. Semasa SMP dan SMA, terutama di kelas 3, doa di tiap awal hari bunyinya hampir
sama. Kami memohon bisa diterima di sekolah A, dimudahkan jalannya untuk masuk ke jurusan
B, hingga minta diluluskan dalam Ujian Nasional yang sempat membuat kami sakit perut karena
stres. Masuk ke masa kuliah doa kami pun bergeser jadi makin spesifik.

Kami memohon dilancarkan jalannya untuk mengejar karir yang sejalan dengan jurusan tempat belajar.
Doa ingin dipertemukan dengan jodoh yang punya sifat A, B, C pun rajin kami utarakan. Menganggap diri paling tahu, merasa permohonan harus selengkap itu.

Di suatu petang yang santai dengan ditemani 2 gelas jus segar, sahabat saya mengeluarkan
celetukan yang masih tertancap di kepala sampai sekarang:

“Aku udah gak pernah berdoa minta macam-macam, tau. Sekarang doaku cuma minta
diberi yang terbaik sama Tuhan. Ditempatkan di sebaik-baiknya ruang yang bisa
membentukku untuk banyak belajar.”


Sebagai manusia, wajar jika ada geram saat merasa doa tidak didengar. Satu yang sering
saya dan kita semua lupa: saat itu mungkin Tuhan hanya sedang ingin menyuruh kita
bersabar


Manusiawi jika ada rasa geram saat permintaan tidak didengar. Mau diakui atau tidak, sebenarnya ada sisi kekanakan yang tidak bisa begitu saja hilang dari diri kita. Semasa kecil, kita bisa dengan mudah tantrum( perilaku marah pada anak-anak prasekolah. Mereka mengekspresikan kemarahan mereka dengan berbaring di lantai, menendang, berteriak, dan kadang-kadang menahan napas mereka). Hal yang mirip kembali terulang saat dewasa, dalam kasus yang berbeda.Coba lihat di sekeliling kita. Jika mau peka sedikit saja, bisakah kita menghitung berapa banyak kawan dan kerabat yang sedang ngambek pada Tuhannya? Atau coba lihat saja pada diri sendiri, pernahkah kita merasa Tuhan amat tak adil dalam memberi?

Rasanya seperti patah hati. Keinginan digagalkan, permohonan seperti tidak didengarkan. Alhasil kita-kita yang kurang dewasa ini memilih untuk menjauh sementara. Seperti ingin menunjukkan bahwa kita bisa hidup tanpaNya. Geram memang wajar. Satu yang sering kita lupakan, ada hal lain di balik keputusan yang mungkin tidak kita pahami karena hati yang kurang besar. Ia hanya sedang meminta kita untuk bersabar. Ia mengajarkan kita cara menghargai waktu tunggu, sementara Ia sedang mempersiapkan kita di jalan yang paling benar.

Semakin dewasa, doa ternyata bukan cuma soal meminta. Ini lebih tentang bagaimana kita mempercayakan apa yang diharapkan pada tangan pemberiNya


Doa ternyata bukan cuma soal meminta. Ini soal percaya. Bukankah doa dan permintaan lain memiliki hukum yang sama? Sebagai pemohon, ada kewajiban tak tertulis untuk percaya dan patuh pada sang pengabul permohonan. Seperti saat kecil kita bersikap baik sepanjang tahun demi mendapat hadiah dari Santa.

Kita pernah mengikuti aturan main, mau percaya sepenuhnya, yakin pada aturan-aturan yang diciptakanNya. Aneh bukan jika setelah makin dewasa kita justru makin banyak meminta?

Pengalaman dan ilmu yang makin matang justru menyisakan ruang kecemasan. Kita menghitung dan mengukur, kemudian merasa keputusan kitalah yang paling membawa rasa bahagia dan mujur. Ada rasa takut jika diberikan jawaban yang tak sesuai harapan. Keengganan diberi hal yang bertolak belakang dengan keinginan mengubah kita dari Hamba jadi konsumen menyebalkan. Tanpa sadar doa kita perlakukan seperti proses memesan makanan. Selama

membayar, kita bebas memesan apapun yang kita mau. Ironisnya, orang yang enggan menerima keputusan lain dari Bos terbesarnya ini adalah orang yang sama yang berkoar-koar ingin keluar dari rutinitasnya. Kita mengutuk kehidupan sebagai orang dewasa yang rasanya mengekang dan minim kebebasan. Tapi kejutan Pemberi Kehidupan justru sebisa mungkin kita singkirkan.

MembiarkanNya memutuskan tanpa perlu didikte memang terdengar sedikit mengerikan. Tapi bukankah Dia adalah pemberi sebaik-baik jalan, meski rutenya penuh lubang dan bercabang?


Tentu tidak mudah untuk sampai pada level bisa benar-benar memasrahkan apa yang kita inginkan tanpa menuntut macam-macam. Dibutuhkan bukan hanya keberanian, tapi juga kepasrahan dan keyakinan besar bahwa Dia adalah pilot terbaik yang tak akan menyesatkan jalan.

Mengubah permohonan dari,

“Aku ingin…”

menjadi

“Aku percaya kau akan memberi yang terbaik.”


Tidak akan begitu saja terjadi dalam semalam. Kadang kita butuh tamparan keras, kegagalan bertubi-tubi, atau patah hati parah sampai rasanya enggan hidup lagi sebelum sampai pada titik ini.

Namun, meyakini bahwa Dia lebih tahu akan menciptakan rasa hangat dari hati sampai ke ulu. Tak ada lagi yang perlu dikhawatirkan jika begitu, toh lewat jalanNya kita pasti akan sampai pada destinasi yang ingin dituju. Jika toh ada lubang dan tanjakan yang melelahkan, itu berarti Dia memang yakin kita memang sanggup bertahan. Tak ada lagi yang pantas dikeluhkan.

Semua keputusan kembali pada kita. Dia akan tetap murah hati membuka telinga demi mendengarkan permohonan kita yang beratus-ratus kalimat panjangnya. Hanya saja,

Bersediakah kita mengikuti jalan yang memang sudah Ia siapkan, tanpa perlu lagi mendikteNya macam-macam? Atau kita akan tetap bertahan, dan merasa diri paling benar?



Sumber : www.hipwee.com | Foto : Google

Post a Comment

 
Copyright © 2014 GP Pancaran Kasih Depok